Garam mulai diproduksi secara masal diperkirakan dilakukan pada milenium pertama sebelum Masehi, di mana pada saat itu sudah berdiri pemerintahan Administratif di China, Dinasti Ptolemy di Mesir dan Dinasti Sekulus di Persia.
Dalam buku Cambridge World History of Food, Kenneth F. Kiple dan Kriemhild Conee Ornelas menuliskan bahwa pada masa awal produksi garam yang sekarang kita kenal, yaitu Natrium Klorida (NaCl) dilakukan dengan beberapa metode seperti dengan menguapkan air laut dengan bantuan sinar matahari, mendidihkan air yang mengandung garam sehingga terbentuk lapisan garam sampai ke penambangan garam yang sudah membatu karena proses alam di sumber-sumber air garam.
Butiran sejarah garam di Nusantara ini yang juga pernah disebutkan Denys Lombard sepertinya masih harus dituliskan karena dalam Encylopaedie Nederlandsch Indie dibawah entri zout (garam) tidak memberikan keterangan apa pun mengenai sejarah garam sebelum abad ke-19.
Padahal, jauh sebelumnya menurut beberapa catatan disamping gula kelapa, asam, terasi, ikan asin, Bawang merah dan bermacam-macam bumbu, garam (wuyah) merupakan salah satu komoditas makanan dan bumbu-bumbuan yang dibawa para pedagang yang lebih profesional serta memiliki jangkauan yang lebih luas di Jawa (Rahardjo 2002:331; Nastiti 1995:88-89). Hal ini dapat ditemukan dalam prasasti abad IX-X Masehi. Dalam hal ini garam yang diperoleh dengan cara kuno erat kaitannya dengan proses pengawetan ikan (ikan asin) pada masa itu.
Monopoli pemerintah kolonial tidak hanya di Jawa dan Madura, monopoli meluas ke beberapa distrik di Sumatra dan hampir seluruh Borneo (Kalimantan). Sementara itu di barat daya Sulawesi pembuatan garam masih berada di tangan pihak swasta (Handbook of the Netherlands Indies 1930:121) Pada jaman Jepang ketika produksi garam di Pulau Jawa berhenti, penduduk Sumatera ramai-ramai merebus air laut untuk mendapatkan garam. Pada 1957 monopoli garam dihapus, Garam negara pun berubah menjadi perusahaan negara pada 1960 (Cribb 2004: 382).